Selasa, 13 Nov 2012 10:05:57 dikirim oleh admin
Benang Kusut yang Belum Terurai
KOMPAS.com - Reformasi guru yang menyasar 2,9juta guru TK hingga SMA/SMK sederajat bergulir sejak tahun 2006 dan akanberlangsung hingga tahun 2015. Pemerintah menginginkan guru yang profesional.
Guru menjadi perhatian utama karena di situlah kunci jika ingin kualitaspendidikan secara nasional meningkat. Perbaikan pun dijalankan denganmengharuskan guru memiliki sertifikat sebagai guru profesional. Guru yang adasaat ini sebagian besar menjalani uji sertifikasi.
Guru yang lolos sertifikasi semestinya memenuhi syarat sebagai guru yangditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.Selain berpendidikan minimal D-4/S-1 dan bersertifikat guru profesional, guruharus memiliki
kompetensi profesional (keilmuan), kepribadian, pedagogik(pendidik), dan sosial.
Namun, di tingkat pendidikan saja masih banyak guru yang terjegal. Dari dataKementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), hampir 50 persen atausekitar 1,8 juta guru belum bergelar sarjana. Sebagian besar yang belumberpendidikan S-1 adalah guru SD (26 persen).
Para guru yang lolos sertifikasi mendapat tunjangan profesi guru senilai satukali gaji pokok. Pada tahun 2011 saja, alokasi Anggaran Pendapatan BelanjaNegara (APBN) untuk tunjangan profesi guru mencapai Rp 18,53 triliun untuk731.002 guru. Tahun depan, seiring meningkatnya guru yang lolos sertifikasi,alokasi dana dari pemerintah naik menjadi Rp 30,53 triliun.
Kualitasdipertanyakan
Lebih dari lima tahun sertifikasi guru berjalan, pemerintah menuding kinerjaguru tak kunjung memuaskan. Dalam kacamata pemerintah dan masyarakat,profesionalisme yang diiming-imingi dengan peningkatan kesejahteraan tidakberbanding lurus dengan mutu guru yang diharapkan meningkat.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh memutuskan untuk lebihmengutamakan sertifikasi guru lewat jalur pendidikan dan latihan profesi guru(PLPG) dibandingkan dengan penilaian portofolio. Selain itu, guru mestimenjalani tes kompetensi untuk bisa diikutkan dalam sertifikasi.
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo mengatakan,sertifikasi guru tidak otomatis meningkatkan
kualitas guru. Sebab, sertifikasibukanlah alat untuk meningkatkan mutu guru, melainkan proses penetapanseseorang untuk memperoleh sertifikat pendidikan.
Sertifikasi guru barulah langkah kecil. Jika buru-buru meminta peningkatankualitas yang signifikan karena gaji guru melonjak, rasanya tidak pas.
Persoalan guru Indonesia tidak sesederhana itu. Kekeliruan dimulai daripendidikan calon guru. Rekrutmen
mahasiswa calon guru tidak selektif. Bahkan,anak-anak cerdas di jenjang SMA/MA sangat sedikit yang berminat menjadi guru. Merekamemilih profesi lain.
Saat menjadi guru, banyak pula yang tidak sesuai dengan bidang pendidikannya.Ketidaksesuaian guru dengan bidang yang diampunya untuk di jenjang SD sebanyak34,8 persen, SMP 31,49 persen, SMA 49,24 persen, dan SMK 22,68 persen.
Belum lagi persoalan guru honorer yang terus membengkak. Pada tahun 2009tercatat 526.614 guru honorer di sekolah negeri dan swasta.
Di satu sisi, keberadaan guru honorer yang digaji Rp 50.000-Rp 500.000 itumemang dibutuhkan sekolah karena kekurangan guru. Ada juga yang memangpermainan �politik� daerah sebagai janji saat pemilihan kepala daerah(pilkada).
Padahal, sesuai hitungan Kemdikbud di atas kertas, mestinya tidak adakekurangan guru. Rasio guru dan siswa secara nasional di jenjang TK hingga SMA/SMKsaat ini masih ideal, yakni 1:15-23, sedangkan rasio maksimal 1:15-32.
Akan tetapi, penataan
tidak bisa dilakukan untuk mengatasi kekurangan guru yangumumnya terjadi di pedesaan atau pinggiran, sementara di perkotaan terjadikelebihan guru. Sebab, desentralisasi pendidikan berimplikasi guru milikpemerintah kabupaten/kota sehingga tidak bisa sembarangan dipindahkan.
Kondisi guru yang milik daerah ini juga rawan korban politik. Kesinambungankarier guru dan kepala sekolah sangat tergantung dinamika politik saatpemilihan kepala daerah. Desentralisasi guru pada akhirnya malah menimbulkanbanyak masalah. Benang kusut yang masih membelit guru Indonesia ini menimbulkandorongan untuk mengembalikan kewenangan guru pada pemerintah pusat.Sentralisasi guru ini semestinya dipertimbangkan demi menjaga mutu pendidikanbagi generasi masa depan
Berita Lainnya